SEJARAH DESA SOROPADAN


SEJARAH DESA SOROPADAN

Pada tahun 1830 saat perang Pangeran Diponegoro berakhir, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro atas akal licik Belanda.  Maka prajurit-prajurit pilihan andalan sang pangeran tersebar mencari selamat bagaikan anak ayam kehilangan induknya.  Namun jiwa prajurit sangat kuat mempengaruhi jiwa raganya, prajurit-prajurit andalan menyebar di hutan-hutan pelosok Pulau Jawa, sambil meneruskan perjuangan yang telah ditanamkan oleh Pangeran Diponegoro yakni melawan penjajahan Belanda.

Alkisah seorang komandan pasukan sandi prajurit Diponegoro masih terus bergerilya melawan Belanda, dengan cara merampok senjata dan harta benda lainnya milik Belanda.  Kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat miskin untuk mencari pengaruh-pengaruh dan menghimpun kekuatan, komandan prajurit sandi tersebut adalah Ki Wiropati yang kemudian mendirikan padepokan di Desa Pijahan dengan operasinya di lereng Gunung Andong daerah Grabag Magelang dan sekitarnya, sehingga merepotkan Pemerintah Belanda.

Maka diutuslah Pengeran Pujud beserta beberapa orang prajurit yang dipilihnya, tugas utamanya menumpas perampokan yang didalangi oleh Ki Wiropati. 

Dalam perjalanan jauh dari Yogya menuju lereng Gunung Andong menempuh perbukitan dan hutan belantara.  Sampailan Pangeran Pujud ke Padepokan Wiropati di Desa Pijahan yang berada di wilayah Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.  Setelah berhadapan maka kagetlah Pangeran Pujud bahwa buronan yang harus ditangkap adalah saudaranya sendiri.

Setelah melepas rasa rindu yang tertahan sekian lama, maka diputuskan Pangeran Pujud tidak akan kembali lagi ke Yogya.  Dicarilah tempat persembunyian yang sekiranya tidak diketahui oleh Belanda.  Selanjutnya menetaplah Pangeran Pujud beserta pengikutnya dan cucu kesayangannya Ki Soropodo di sebuah lembah perbukitan yang mempunyai pemandangan indah.  Karena beberapa gunung dapat terlihat jelas dari lembah itu.

 

Untuk mengelabuhi Belanda, Pangeran Pujud akhirnya berganti nama Ki Honggo, maka berdirilah padepokan yang diberi nama Padepokan Soropadan dan dalam perjalanan waktu padepokan tersebut berkembang menjadi sebuah desa yang sampai sekarang disebut DESA SOROPADAN.

Ki Honggo Potro, Ki Soropodo dan pengikutnya berusaha tani di lembah perbukitan tersebut, namun ternyata kondisi alam yang ada sangat gersang, bahkan tiap jengkal tanah lembah itu ditelusuri dengan harapan menemukan mata air.

ternyata pada hamparan tanah yang sangat luas atau kurang lebih 25 KM2 di daerah tersebut tidak ditemukan sumber air.  Sampai sekarang di beberapa desa pada wilayah atersebut meliputi Desa Nguwet, Kupen, Kebumen, Soropadan, Krincing, Secang dan Ngabean tidak terdapat sumber air.  Konon di bawah tanah tersebut derdapat batu klemoso yang membentang dari tepian Kali Murung sampai dengan Secang.

Padepokan Soropadan selanjutnya banyak diminati oleh pendatang, yang kemudian menjadi sebuah desa.  Hubungan keluarga Honggo Potro dan Wiropati berjalan baik ditandai dengan saling kunjung mengunjungi antara Pijahan dan Soropadan.

Suatu saat pada musim kemarau panjang Ki Honggo Potro melihat dan merasakan bahwa pada hamparan yang sangat luas itu di musim kemarau kelihatan menguning layu, masyarakat resah gelisah tidak ada tanaman yang dapat dipetik.  Hasilnya air untuk kebutuhan sehari-hari, minum dan masak pun sulit di dapat, beban yang sangat berat ini dirasakan sekalli oleh Ki Honggo Potro dan Soropodo.  Maka berembuklah kedua tokoh padepokan ini mencurahkan daya upaya untuk memecahkan teka teki tentang air yan didambakan masyarakat.  Berhari-hari kedua tokoh ini berembuk, namun belum juga mendapatkan hasil yang sekiranya dapat memecahkan hal tersebut, maka diputuskan untuk menghadap Ki Wiropati di Pijahan membagi duka atas derita yang melanda.

Berangkatlah Ki Honggo Potro dan Soropodo ke Pijahan, sesampainya di Pijahan Ki Wiropati kaget mendapatkan Ki Honggo Potro dan Soropodo dalam keadaan lusuh tanpa semangat.

Singkat cerita setelah dijamu layaknya tamu, Ki Honggo Potro mengutarakan curahan penderitaan hatinya.  Maka ketiganya terjadi pembicaraan serius, maka setelah beberapa hari berada di Pijahan, Ki Honggo Potro dan Soropodo pamit pulang.

Dalam kata perpisahannya Ki Wiropati meminta agar sepulangnya Ki Honggo Potro dan Soropodo jangan melewati yang biasa dilewati.  Supaya lewat bawah lereng perbukitan, dengan harapan menemukan sumber air.  Keduanya setuju dengan bekal secukupnya untuk keperluan perjalanan pulang, keduanya berjalan menerobos belantara.  Di tengah hari yang cukup panas, lewatlah kedua tokoh tersebut pada aliran sungai elo.  Dalam istirahat untuk mengurangi kepenatannya kedua tokoh tersebut mandi di sungai eko.  Setelah semuanya selesai sambil menikmati bekal yang dibawa dari Pijahan, mereka berdua beristirahat di bawah pohon yang rindang di tepian sungai elo di wilayah Desa Pondoh.

Dalam gerutunya Ki Honggo Potro mengutarakan pendapatnya "Alangkah indahnya kalau kali elo ini bisa dibendung kemudian dibuatkan saluran sampai Desa Soropadan".

Soropodo tersentak lamunannya mendengar pendapat eyangnya tadi.  Selanjutnya mereka berdua membuat rencana dan mencari lokasinya di bantaran sungai elo itu yang sekiranya dapat dibendung.  Ternyata ditempat mereka istirahat itu pas berada pada tikungan sungai elo itu yang sekiranya dapat dibendung.  Ternyata ditempat mereka istirahat itu pas berada pada tikungan sungai elo dengan tebing karang yang kuat.

Kemudian mereka berdua memutuskan mencoba membuat bendung di lokasi tersebut.  Keputusan itu akan segera disampaikan kepada orang-orang padepokan Soropadan.  Sebelum pulang Soropodo memanjat pohon yang paling tinggi untuk melihat arah Padepokan Soropadan, selanjutnya membuat tanda di pucuk pohon tersebut yang akhirnya dapat terlihat dari kejauhan, sehingga dapat menentukan arah saluran air yang akan dibuat.

Sekembalinya Ki Honggo Potro dan cucunya Soropodo ke Padepokan Soropadan disambat oleh warga padepokan dengan penuh harap.  Maka Ki Honggo Potro menceritakan segala yang dialaminya dalam perjalanan pulang dari Padepokan Pijahan.  Dan diceritakan pula rencana pembuatan saluran yang sekiranya bisa sampai Padepokan Soropadan.  Selanjutnya Ki Honggo Potro memerintahkan cucunya Soropodo untuk membuat rencana sekaligus mempersiapkan segala keperluan untuk mengadakan pekerjaan besar.

Soropodo dengan sigap segera mengumpulkan seluruh warga padepokan Soropadan untuk diajak musyawarah, menentukan segala sesuatunya untuk mendukung pekerjaan itu.  Maka dibagi pula tanggung jawab pekerjaan itu.  Ada yang bertanggung jawab mengenai peralatan, perbekalan, tenaga dan ada pula penghubung yang bertanggung jawab untuk menginformasikan ke desa ataupun dusun yang kemungkinan terlewati saluran air yang direncanakan. Singkat cerita dimulailah pekerjaan membuat saluran air menuju padepokan Soropodo, dan ketika sampai di suatu bukit yang harus membelah tengah bukit untuk saluran air, konon ceritanya apabila bukit tersebut selesai dibelah siang dan malam harinya bukit tersebut kembali lagi seperti semula, dengan kejadian seperti itu maka eyang Pujut meminta bantuan seorang kiai yang sampai sekarang dikenal dengan julukan ki Celeng Behel untuk membelah gumuk tersebut dan berhasil membelah gumuk tersebut menjadi saluran air menuju padepokan Soropodo, dan menjadi satu – satunya sumber mata air di padepokan Soropodo, hingga lama kelamaan seiring dengan berjalannnya waktu, karena tersedianya sumber mata air padepokan Soropodo berkembang menjadi sebuah desa yang saat ini menjadi DESA SOROPADAN pada tahun 1875 , hingga saat ini, dengan adanya saluran air  / irigasi soropadan maka masyarakat Soropadan bisa melangsungkan kehidupan dengan bercocok tanam, hingga saat ini tanaman Padi menjadi komoditas unggulan desa Soropadan. 

 

 

 

 

 

 

chat